Selasa, Desember 16, 2008

Iwan Purnama: Suka Eksekusi yang Cepat

Selasa, Desember 16, 2008 0


Lamanya product development di suatu perusahaan bisa menjadi alasan seseorang hengkang dari pekerjaannya. Salah satunya Iwan Purnama, Sales & Marketing Manager PT Faber-Castell International Indonesia. “Sebelumnya saya bekerja di bidang farmasi, dan memutuskan pindah ke Faber Castell tahun 2002 lalu,” ujarnya.

Jika membandingkan kedua pekerjaan tersebut, lanjut Iwan, di Faber Castell ia dituntut kreatif. Maklum saja, setiap tahun tim sales & marketing harus membuat program-program yang berbeda. Tujuannya, tentu saja untuk menarik minat konsumen dan agar tidak membosankan. Sementara di farmasi, eksekusi produk cenderung berjalan lambat karena harus dilatarbelakangi riset terlebih dulu.

“Di farmasi, tiga tahun belum tentu produk baru bisa di-launch. Hingga untuk aplikasi dan inovasi produk memakan waktu yang lama. Ini bertolak belakang dengan kepribadian saya yang lebih menyukai eksekusi dan aplikasi. Jadi, kreativitas tidak mandeg,” papar pria bertubuh jangkung ini. Tidak heran jika Iwan selalu mengarahkan timnya untuk membuat program bagus, misalnya kegiatan menggambar dengan Faber-Castell dalam akuarium hiu di Seaworld, Ancol.

Bisa dikatakan, tugas Iwan adalah menggiring timnya untuk sekreatif mungkin, agar inovasi produk terus berjalan. “Tapi, nilai konsistensi juga diperlukan agar brand Faber Castell tetap diingat konsumen dan terkenal. Hasil akhirnya, selain meningkatkan penjualan, para salesman juga bisa naik jabatan,” kata pria ini dengan bangga.

Fisamawati
MARKETING Edisi Desember 2008

[+/-] Selengkapnya...

Bikin Penasaran Pendengar


Meskipun baru seumur jagung, Gen FM mampu menyedot perhatian 2,7 juta pendengar per kuartal III tahun ini. Daya tarik apa yang ditawarkannya?

Sebagai pemain baru di industri media radio, rasanya mustahil bagi 98.7 Gen FM (populer disebut Gen FM) dapat meraih kesuksesan dalam tempo singkat. Apalagi kalau melihat banyaknya pemain lama yang sudah terjun terlebih dulu hingga nyaris tak ada ruang. Istilahnya, geser frekuensi sedikit pasti ada siaran dari radio lain. Semua segmen yang ada pun sudah habis digarap.

“Awalnya, kami sedikit kesulitan menentukan konsep siaran. Waktu itu, kami tidak ingin menentukan target market dan perencanaan atas dasar keinginan kami sendiri. Semua harus kembali lagi pada kebutuhan pendengar. Untuk itu, langkah pertama yang diterapkan adalah melakukan riset,” kata Adrian Syarkawi, President Director 98.7 Gen FM.

Riset tersebut diarahkan pada keinginan masyarakat terhadap sebuah siaran radio. Dari hasil survei yang dijalankan, mereka menemukan fakta bahwa masyarakat menginginkan program siaran khusus musik tanpa adanya gangguan apa pun. Mengacu pada hal itu, Adrian lantas memetakan radio profile, listeners profile, dan positioning dari Gen FM.

Dengan format contemporary hits radio, Gen FM lalu menggelar siaran percobaan selama dua bulan terhitung mulai Juli 2007 dan resmi di-launch tepat pada tanggal 9 Agustus 2007 mewakili angka frekuensi 98.7. Golongan SES pendengar yang dibidik mayoritas adalah kelas B (sebanyak 50%), sisanya 40% kelas C, dan 10% kelas A. Sedangkan untuk range usianya berkisar antara 18-34 tahun dengan spesifikasi wilayah jangkauan Jakarta.

“Sesuai tagline ‘Suara Musik Terkini’, 98.7 Gen FM memiliki karakteristik musik 70% Indonesia dan 30% mancanegara. Musik yang disajikan pun bersifat easy listening, up beat hits, dan the feel is young and rocking,” papar Adrian. Bahan siarannya didominasi musik, selebihnya informasi dan iklan.

Jika mengacu pada keinginan masyarakat tadi, tambahnya, arah konsep mereka sudah terbentuk. Tetapi, hal lain yang menjadi pertimbangan adalah tingkat loyalitas konsumen terhadap Gen FM. Maklum saja, sekarang ini marak penggunaan MP3/MP4 sebagai media bagi konsumen untuk mendengarkan musik, jenis lagunya pun bisa diatur sesuai keinginan si pemilik.

“Tantangannya cukup berat. Oleh karena itu, kami mencoba menawarkan sisi lain dari siaran 98.7 Gen FM. Diferensiasi tersebut tidak didapat oleh MP3/MP4 sehingga itulah yang menjadi keunggulan kami,” ujar Adrian. Keunggulan yang dimaksud adalah nilai personal dan surprise. Meski terkesan sederhana, lanjutnya, kedua nilai tersebut adalah poin penting.

Gen FM juga mencoba menawarkan kedekatan secara personal dengan memakai ungkapan Sobat Gen—sapaan akrab penyiar kepada pendengar Gen FM. Selain itu, pendengar pun mendapat “kejutan” dari lagu-lagu yang diputarkan. Contohnya, salah satu tembang yang diputar mengingatkan pendengar akan kenangan masa lalu ketika menyatakan cinta kepada pasangannya. Atau lagu tersebut adalah lagu favorit yang sudah lama tidak didengarnya, dan masih banyak lagi. “Tentunya, ini berbeda dengan MP3/MP4 yang sudah dikelompokkan sehingga bisa hafal urutan lagu di dalamnya,” tutur Adrian.

Secepat kilat Gen FM pun melekat di telinga pendengarnya dengan respons-respons positif. Terbukti, sebuah penghargaan berhasil disandangnya sebagai “The Phenomenal Station” yang diberikan oleh majalah Rolling Stone Indonesia. Dijelaskan Adrian, Gen FM dinilai berhasil membawa musik Indonesia terbaik kepada masyarakat Jakarta, dan terdengar mengudara di berbagai tempat mengiringi aktivitas masyarakat.

Per kuartal III tahun ini, mereka mampu menyedot perhatian 2,7 juta pendengar. “Kami bersyukur, bahwa target yang diharapkan bisa terealisasi dalam setahun ini. Bahkan, jika diukur dari total pendengar, jumlahnya sudah melampaui target awal. Begitu juga dengan mitra pemasang iklan. Mereka mempercayakan 98.7 Gen FM sebagai wadah promosi produk,” katanya. Ini tak terlepas dari promosi yang gencar dilakukan Gen FM di setiap kegiatan, baik on-air maupun off-air.

Selain mengandalkan siaran lagu-lagu, Gen FM juga menyisipkan program Salah Sambung. Program ini disisipkan untuk memberikan hiburan bagi pendengar. Dengan konsep mistery telephone, Salah Sambung juga bisa memberikan kedekatan personal. Tak ayal, Salah Sambung menjadi “bumbu” word of mouth dalam meningkatkan awareness Gen FM.

Sebelumnya, Gen FM juga menerapkan strategi “teaser promo” yang cerdik. Strategi tersebut dijalankan selama dua bulan. Selama masa itu, mereka tidak memberikan informasi tentang nama brand radio yang diusungnya. Mereka hanya memutarkan lagu-lagu dan sesekali menyebutkan 98.7. Banyak di antara pendengar yang penasaran menanti siapa gerangan nama stasiun radio tersebut. “Sengaja dirahasiakan, tujuannya agar masyarakat mengingat ‘alamat’ radio kami di frekuensi 98.7,” kata Adrian.

Dipaparkannya, masalah yang sering timbul bagi sebuah stasiun radio adalah mengomunikasikan “alamat” radio atau frekuensinya. Kecenderungan yang ada, pendengar boleh saja mengenal brand radio-nya, tapi belum tentu hafal gelombangnya. Inilah yang diantisipasi 98.7 Gen FM sedini mungkin.

Sementara itu, pakar brand PR, Silih Agung Wasesa, menilai sejauh ini peluang Gen FM masih terbuka lebar. Apalagi dengan pencapaian pendengar yang terbilang fantastik. Jadi, tidak ada masalah dengan kesamaan segmen yang dibidik antara Gen FM dengan kompetitor.

“Ciri khas Gen FM terletak pada acara Salah Sambung. Format acara seperti itu banyak dinanti pendengar karena memberikan hiburan. Selain itu, musik yang ditawarkan juga bersifat easy listening. Ini menjadi kunci Gen FM karena masyarakat membutuhkan ‘sesuatu’ di tengah padatnya rutinitas,” paparnya.

Bisa dikatakan Gen FM sudah mendapat tempat di hati pendengar. Untuk itu, lanjut Silih, Gen FM jangan mudah terbuai. Artinya, di tengah kesuksesan pastilah banyak pemasang iklan yang ingin mendapatkan space. “Tapi, jangan sampai terjebak pada acara-acara talkshow karena akan memberikan kejenuhan pada pendengarnya. Apalagi jika talkshow-nya mengandung iklan,” tegas Silih.

Sependapat dengan Silih, Adrian mengatakan bahwa Gen FM tetap konsisten terhadap kebutuhan pendengar. Tanpa adanya pendengar, pastilah pemasang iklan tak akan datang dengan sendirinya. “Pemasang iklan tertarik karena adanya data real pendengar yang tune-in 98.7 Gen FM. Bisa dikatakan, space iklan sudah penuh. Sampai-sampai kami kewalahan menempatkan iklan-iklan tersebut.”

Karenanya, meskipun pemasang iklan antre untuk mendapatkan space, mereka tak mau mengubah komposisi musik. Bahkan, tawaran harga tinggi pun tetap tak menggoyahkan positioning-nya sebagai “The Best Indonesian Music”. Hanya saja, ungkap Adrian, pihaknya berupaya memberikan solusi terbaik untuk menempatkan space iklan tersebut tanpa harus mengutak-atik konsep yang dipegang Gen FM. “Sebisa mungkin idealisme kami tetap terjaga,” ujarnya.

Fisamawati
MARKETING Edisi Desember

[+/-] Selengkapnya...

TAMARA BLEZYINSKY: Ritual “Me Time”


Meski sudah bertahun-tahun menjadi Lux Star Indonesia, Tamara Blezyinsky tetap merasa percaya diri. Aktris cantik kelahiran Jakarta, 25 Desember 1974 ini justru merasa kepercayaan dirinya meningkat setara usianya yang kian bertambah. Apa rahasianya?

Hal ini, kata Tamara, tidak terlepas dari ritual yang dilakukannya. Dia kerap menggunakan ritual “me time”, yakni acara mandi sebagai salah satu cara untuk memanjakan diri. “Sambil menyalakan lilin dan aroma therapy, saya menikmati ritual mandi tersebut. Apalagi ketika menggunakan Lux Silk Caress with Macadamia and Moisturizing Whipped Cream yang menjadi favorit saya,” terangnya.

Selain merasa lebih cantik dengan kulit harum dan halus terawat, tambah pemilik nama lengkap Tamara Natalia Christina Mayawati Blezyinsky ini, juga memudahkan orang lain untuk mengenalinya. Kesan menawan, percaya diri hingga kesiapan menaklukkan tantangan pun melekat pada dirinya.

Tamara menuturkan, sesuai kodratnya, perempuan memegang banyak peran yang harus dijalankan. Tetapi, lantaran kesibukannya yang nyaris tanpa henti, adakalanya perempuan kurang menyadari pesona kecantikan yang dimiliki. Ini, lanjutnya, bisa berdampak pada kepercayaan diri untuk memancarkan pesona yang ada.

“Sebagai salah satu Lux Star Indonesia, saya percaya bahwa setiap perempuan terlahir cantik. Melalui serangkaian kegiatan ini, saya ingin memberikan inspirasi bagi perempuan bahwa mereka berhak merayakan kecantikannya selayaknya seorang Diva,” ujarnya.

Fisamawati
MARKETING Edisi Desember 2008

[+/-] Selengkapnya...

INDUSTRI RITEL: Awasi Perubahan Perilaku Belanja!


Walaupun tengah menghadapi krisis ekonomi global, industri ritel dinilai tetap stabil. Asal tahu apa pemicu dan antisipasinya, para pemain tetap berpeluang untuk ekspansi.

Adanya krisis global bukan berarti industri ritel tak bisa berekspansi. Catatan tahun 2008 ini saja, pasar ritel barang konsumen di Indonesia berkembang baik sekali. Bahkan, Indonesia menjadi Top 2 tertinggi di Asia dalam lima tahun terakhir.

“Hingga September 2008 ritel tumbuh hingga 22,2% dari 54 kategori produk. Dari segi produk, di kalangan menengah ke atas tidak ada perubahan. Namun, di kelas menegah bawah terjadi peralihan ke merek-merek dan produk yang lebih murah,” kata Yongky Surya Susilo, Director Retailer Service PT AC Nielsen Indonesia.

Pertumbuhan tersebut, lanjutnya, dilandasi faktor inflasi. Yakni kenaikan harga makanan yang signifikan dari kategori produk berbasis CPO seperti minyak goreng (+40%); tepung terigu seperti mie instan (+40%); dan susu (+20%). Seiring dengan itu, volume penjualan minyak goreng bermerek makin meningkat akibat perpindahan dari jenis curah ke branded, sedangkan untuk mie instan dan susu hanya turun sedikit.

Hal senada juga diutarakan Sugiyanto Wibawa selaku anggota dari Asosiasi Pengusaha Retail Indonesia (Aprindo). Tahun 2008, industri ritel tumbuh pesat dengan menjamurnya pasar modern seperti hipermarket, supermarket maupun minimarket. “Semuanya tumbuh serentak dan sama rata. Prospeknya pun cukup bagus,” katanya. Sugiyanto, yang juga menjabat sebagai Direktur Pengembangan Ritel PT Hero Supermarket, menggarap peluang tersebut dengan meluncurkan Giant supermarket.

Pertumbuhan ritel ini bukanlah cuma terjadi di pasar modern. Pasar tradisional pun meningkat penjualannya secara rupiah (+21%). Hal ini disebabkan adanya kenaikan harga dan didorong pula dengan image murah yang melekat padanya. Tidak heran jika konsumen kelas bawah merangsek ke pasar tradisional. Apalagi, pasar tradisional juga memberikan kesempatan kepada konsumen untuk membeli sesuai kemampuannya, termasuk kredit.

Berdasarkan jumlah toko, papar Yongky, pasar tradisional tumbuh kuat. Selain menjadi suatu bentuk usaha yang paling mudah, mereka juga turut membangun pendapatan tambahan. “Mereka mulai mendekat kepada konsumen, misalnya berlokasi di jalan besar dan perumahan. Uniknya lagi, ada yang menggunakan pick up dan ‘moko’ alias mobil toko.”

Sedangkan pasar modern akan tetap tumbuh sesuai dengan kebutuhan konsumen modern, baik di kota besar maupun kota kecil. Konsepnya terus diubah guna meningkatkan image, pelayanan, sekaligus solusi hiburan bagi konsumen yang stressful. Tren yang ada pun mulai bervariasi. Indonesia kini memiliki Harvey Nichols, peritel premium. Ada pula Grand Indonesia, sebuah mega mal terbesar yang menjadi landmark Indonesia.

Tentunya, perubahan konsep tadi juga didorong oleh peningkatan kepuasan konsumen. “Level of service (tingkat pelayanan) kian meningkat dengan tersedianya fasilitas manusiawi yang exceed expectation. Ini membuktikan bahwa konsumen menjadi powerful,” kata Yongky. Menurutnya, peritel nasional yang inovatif akan mempunyai potensi besar. Misalnya konsep midi store yang diformat Alfamart. Begitu juga konsep convenience store Circe K yang merejuvenasi tokonya dan berekspansi ke area ramai dan “hidup” 24 jam.

Sementara itu, Sugiyanto berpendapat bahwa pertumbuhan pasar modern lebih cepat dibandingkan pasar tradisional. “Tapi, pada dasarnya, growth antara keduanya sama.” Faktor krisis global, menurutnya, tidak begitu memengaruhi pertumbuhannya. Sebab, pasar modern masih diminati kalangan menengah ke atas yang mengutamakan prestige.

“Saat ini, komposisi perbandingan persentase antar pasar tradisional dengan modern adalah 64:36. Secara total kategori kebutuhan konsumen, termasuk komoditas, estimasi pasar modern hanya memberikan kontribusi 10%,” tambah Yongky.

Di kategori pasar modern, hipermarket dan minimarket tetap menyandang gelar primadona untuk pertumbuhan pasar ritel di Indonesia. Namun, jika membandingkan keduanya, minimarket memiliki peluang yang lebih besar untuk berekspansi karena kemudahan mencari lokasi. Sedangkan hipermarket akan sedikit selektif akibat faktor likuiditas. Lain halnya dengan supermarket. Pertumbuhan supermarket akan terhambat karena terimpit format besar dan kecil, kecuali jika para pemain bisa me-repositioning brand-nya.

Secara global, peluang pasar modern yang ditawarkan masih besar. Dari angka pertumbuhan rantai ritel modern, trennya masih terlihat positif dalam Like for Like (organic) growth. Angka tersebut menunjukkan belum terjadi saturation karena over supply. “Di masa depan, peningkatan daya beli di kota akan mengendurkan lagi growth ceiling bagi ritel modern,” ungkap Yongky.

Menghadapi krisis ekonomi global, Sugiyanto mengatakan, para peritel tetap optimistis menghadapi kemungkinan di tahun 2009 nanti. Begitu pula dengan Yongky. Pemicunya, target pasar yang dibidik adalah kaum urban sebesar 45% dari populasi Indonesia. “Potensi konsumen muda juga akan mendominasi, apalagi mereka yang menuntut modernisasi,” imbuhnya. Pemicu lainnya adalah tingginya segmentasi, serta rendahnya supply chain dan retail branding.

Ditambahkan Sugiyanto, untuk perkembangan pasar tradisional pun demikian. Sebab, sekarang ini tren yang mengacu untuk pasar tradisional juga mulai dikembangkan ke arah modern, misalnya pasar Pantai Indah Kapuk. “Ketika pengembang properti ingin mendirikan perumahan, mereka juga memprediksikan tempat strategis untuk pasar tradisional,” jelasnya.

Bicara mengenai industri ritel di tahun 2009, Yongky memprediksikan bahwa tren yang akan menonjol antara lain rejuvenation dari kartu membership ritel seperti MMC (Matahari), Aku (Alfamart), Prepaid Indomart, Hypermart-Mandiri, dan lainnya. Untuk restoran, konsep nostalgia atau back for future yang dikemas modern akan mendapat respons konsumen seperti yang diusung oleh Sate Senayan dan Si Kabayan.

“Yang penting, dalam kondisi perekonomian seperti ini, peritel harus awas dengan peluang karena perubahan perilaku belanja; selektif ketika berekspansi; tetap berpromosi; dan melakukan radical marketing,” ujarnya mengakhiri perbincangan.

Fisamawati
MARKETING Edisi Desember 2008

[+/-] Selengkapnya...

Di Balik Tantangan, Pasti Ada Peluang


Layaknya dua sisi mata uang. Itulah gambaran bisnis Kino Group di tahun 2009. Antara tantangan dan peluang, beda tipis.

Kecenderungan melemahnya daya beli masyarakat, akibat hantaman krisis ekonomi global, jelas berdampak pada industri consumer goods. Krisis bisa menjadikan pergerakan bisnis menjadi solid atau sebaliknya, menjauh dari core-nya. Adapun tiga faktor yang mempengaruhi bisnis, yaitu faktor internal, eksternal, serta industri dan makro.

Secara internal, dirasakan ada beberapa hal yang harus didistorsi nilainya dari bisnis itu sendiri, baik manajemen SDM, intra organisasi (antardivisi), dan decision quality dari profesional di dalamnya. Sedangkan eksternal, yakni consumer habit dan kompetisi maupun reaksi para pemain di setiap market. Lalu, industri dan makro dilihat dari nilai tukar mata uang, financial policy dan instrumen/parameter keuangan lainnya.

Demikianlah pendapat Harry Sanusi, CEO & President Director PT Kino Group, menanggapi kondisi perekonomian dewasa ini. “Kino Group merasakan bahwa 2009 merupakan tahun yang cukup menantang. Kami harus bisa survive dalam situasi apa pun,” ucapnya.

Hingga tahun 2008 ini, pertumbuhan Kino Group hampir di atas 30% per tiap divisi. Diakuinya, walaupun memang masih ada beberapa divisi yang sebelumnya “suffer”, baru mulai menunjukkan performanya. Bicara mengenai kompetisi, ia mengatakan tetap optimistis bisa mendapatkan peluang. Maklum saja, kompetisi di consumer goods tidak semakin kendur sebab industri ini memang cukup hot.

“Untuk itu, haruslah menyikapi segala peluang dan tantangan yang ada sebaik mungkin. Hal pertama yang diperhatikan adalah consumer habit and change. Bila daya beli masyarakat berlari dari satu kecenderungan ke pola yang lain, itu merupakan tantangan. Tetapi, dibalik sebuah tantangan, pasti ada peluang,” tegas Harry.

Buktinya, lanjut Harry, berdasarkan pengalaman tahun-tahun sebelumnya, peluncuran produk baru keluaran Kino Group selalu mendapat tempat. Hanya saja, semua kembali lagi pada strategi perusahaan dalam me-manage tantangan yang bakal muncul dan mengendalikan risikonya. “Terlepas dari faktor lain yang masih kompleks, secara umum market sudah tertekan sejak tahun 2008.”

Bila tak ada kebijakan yang kondusif, Harry mengungkapkan, maka daya beli akan berada pada curve yang stabil. “Konsumen semakin smart. Menariknya, bila dilihat dari karakteristik konsumen Indonesia, terkadang mereka tidak realitis. Artinya, untuk kebutuhan sehari-hari, mereka tidak leluasa membeli. Tetapi, untuk kebutuhan lain seperti kendaraan dan alat komunikasi, mereka bisa memenuhi itu,” ujarnya.

Maka, diprediksikan tren yang akan booming tahun 2009 adalah konsumen yang mencari produk-produk reliable, sesuai dengan dirinya. Misalnya produk yang bersifat praktis dan mudah digunakan. Tentunya, ini tak terlepas dari harga terjangkau namun bisa memenuhi kebutuhan dan memanjakan konsumen.

Tahun depan, Kino Group tetap stay dengan strategi yang ada. Kino Group akan mengupayakan segala bentuk komunikasi pemasaran, baik above the line (ATL) maupun below the line (BTL). Acuan ketentuannya terletak pada needs and wants konsumen. Target pertumbuhannya berkisar di atas 20% per tahun.

“Strategi ke depannya, setiap market akan ditangani dengan cara yang berbeda-beda. Jadi, dicocokkan dahulu antara target market, produk, serta efektivitas promosinya. ATL dan BTL merupakan alat untuk mewujudkan tanggung jawab tersebut,” ujarnya.

Fisamawati
MARKETING Edisi Desember 2008

[+/-] Selengkapnya...

INDUSTRI PERTELEVISIAN: Program “Segmented” Mulai Diminati


Tidak selamanya sinetron bisa mengikat animo pemirsa televisi. Kejenuhan mulai terlihat. Kemana arah tayangan akan berpindah?

Perkembangan industri pertelevisian di Indonesia kian pesat. Ini ditandai dengan hadirnya puluhan stasiun televisi, baik dalam skala nasional maupun lokal. Akibatnya, persaingan di antara para pemain kian sengit. Masing-masing berlomba menyajikan program unggulan untuk memikat pemirsa.

Berhasil-tidaknya program TV memang ditentukan oleh pemirsa. Makin banyak yang menonton, makin sukses pula acara tersebut—dan makin tinggi pula potensi untuk meraup banyak iklan. Dalam dunia pertelevisian, dikenal istilah rating, yakni skor untuk mengetahui jumlah orang menyaksikan sebuah acara TV. Bila skor rating-nya tinggi berarti acara tersebut banyak ditonton pemirsa, begitu pun sebaliknya.

“Persaingan di tahun 2008 relatif masih ketat. Hampir sama dengan tahun 2007 kemarin. Semua stasiun televisi berlomba-lomba membuat program semenarik mungkin untuk mendapatkan perhatian pemirsa sebanyak-banyaknya,” ujar Andini Wijendaru, Executive Public Relations PT AGB Nielsen Media Research (NMR) Indonesia.

Jika dilihat dari segi jumlah penonton, tahun ini sinetron (drama series) tampaknya masih digandrungi—khususnya bagi ibu-ibu rumah tangga. Namun, berdasarkan supply program dari stasiun televisi, menurut Andini, pasokan sinetron mulai berkurang. Penurunan supply sinetron ini sudah terjadi sejak tahun 2006. Untuk menutupinya, tayangan sinetron pun diganti dengan FTV dan drama percintaan.

Di samping itu, ada fenomena menarik yang terjadi tahun ini, yaitu makin disukainya tayangan sport. “Dilihat dari genre program, olahraga mulai mendapat perhatian penonton. Program-program olahraga tersebut dikerucutkan lagi hingga muncul kategori sepak bola, bulu tangkis, dan tinju,” katanya. Tayangan olahraga ini sifatnya program khusus. Artinya, target audiens yang dibidik termasuk segmented, yakni laki-laki.

Berdasarkan 20 Top Program periode Januari–15 November 2008 yang dirilis NMR, program yang ditonton pemirsa usia lima tahun ke atas cenderung bervariasi. Beberapa program olahraga ternyata mampu menyedot perhatian banyak pemirsa. Misalnya saja siaran langsung Liga Djarum: PSMS vs Sriwijaya yang meraih penonton tertinggi (3,72 juta); kualifikasi Final Thomas Cup & Uber (3,59 juta); dan Kukubima World Boxing (3,46 juta).

Tayangan musik juga cukup mendominasi. Beberapa contohnya adalah Mamamia Supermama (3,62 juta); Stardut (3,45 juta); Demam Dangdut (3,33); dan Club (3,20 juta). Sementara itu, sinetron hanya bisa menempatkan dua judul—Cinta Bunga dan Azizah—di antara 20 program yang paling banyak ditonton pemirsa (lihat tabel).

“Ini berbeda dengan tahun 2007 yang didominasi oleh tayangan sinetron, drama, dan film,” terang Andini. Jika dibandingkan dengan periode yang sama (Januari–15 November), tahun lalu sinetron dan sejenisnya sangat perkasa dengan menempatkan 14 judul.

Survei ini dilaksanakan oleh AGB Nielsen Media Research Indonesia di 10 kota besar (Jakarta, Surabaya, Medan, Semarang, Bandung, Makassar, Yogyakarta, Palembang, Denpasar, dan Banjarmasin), dengan target audiens yang berusia di atas lima tahun. Hasil survei tersebut menunjukkan peningkatan tontonan di kalangan laki-laki.

Peningkatan jumlah tayangan khusus laki-laki, lanjut Andini, awalnya dikarenakan keinginan pihak stasiun televisi untuk lebih menjangkau target pemirsanya, bukan hanya untuk kalangan perempuan. Akibatnya, program-program yang bervariasi makin marak ditawarkan. Kondisi ini, lanjut Andini, berbeda dengan tahun sebelumnya di mana program sinetron, musik, dan film masih menjadi primadona.

“Perpindahan tersebut dilandasi atas keinginan mereka dalam memberikan ‘warna’ tayangannya. Selain bertujuan menarik minat pemirsa, hal ini juga untuk menunjukkan eksistensi mereka dalam memanjakan keinginan pemirsa. Apalagi, sekarang ini marak televisi berbayar. Persaingan di industri siaran televisi kian sengit,” lanjutnya.

Faktor lain yang mempengaruhi genre tayangan baru adalah pemirsa itu sendiri. Seiring waktu, kebutuhan dan tren yang diinginkan pemirsa selalu berubah-ubah. Contohnya, sinetron dulu digemari, tetapi sekarang penonton sudah jenuh dan menginginkan tayangan yang berbeda. Penonton jenuh jika “dibombardir” oleh satu tayangan yang monoton. Apalagi jika tayangan sejenis juga disiarkan di stasiun-stasiun televisi lain.

Salah satu tayangan yang tengah digemari saat ini adalah Termehek-mehek. Di tengah maraknya tayangan sinetron di saat prime time, Trans TV justru berani menghadirkan reality show dengan kemasan yang berbeda dari pemain lainnya. Termehek-mehek disinyalir mampu menaikkan rating Trans TV. Bahkan, untuk memenuhi kebutuhan pemirsanya, tayangan tersebut sampai hadir dua kali dalam seminggu, Sabtu dan Minggu.

Dalam Top 10 Program November 2008 (1–15 November 2008), Termehek-mehek mencapai skor rating tertinggi, yakni 6,5 dengan jumlah pemirsa 2,75 juta orang. Meski begitu, berdasarkan data tahun sebelumnya, pencapaian rating setiap program bisa naik-turun tergantung pada pilihan pemirsanya. “Karenanya, stasiun televisi harus mengantisipasi hal itu sedini mungkin. Harus pandai-pandai mencari ide dalam mengemas tayangannya,” saran Andini.

Fisamawati
MARKETING Edisi Desember 2008

[+/-] Selengkapnya...

INDUSTRI FMCG: Beralih ke Refocus dan Repositioning

Kejelian produsen FMCG dituntut lebih. Strategi refocus dan repositioning menjadi pilihan. Bagaimana mempraktikkannya?

Banyak kalangan dan pelaku bisnis menilai negatif akan pertumbuhan industri consumer goods seperti yang digeluti PT Unilever Indonesia, Wings Group, maupun Kino Group. Apalagi sejak September 2008 kemarin, gejolak kurs, bunga pinjaman, dan likuiditas kian memperparah kondisi ekonomi baik nasional maupun internasional.

Tidak demikian dengan Yadi Budhi Setiawan, pengamat pemasaran dan distribusi dari Force-One. Menurutnya, ada empat “faktor baik” yang memengaruhi kondisi bisnis 2008, yakni makro ekonomi yang relatif solid; perkembangan ekonomi Indonesia yang ditopang oleh sektor konsumsi sejak lima tahun terakhir; belajar dari krisis moneter 1997 dan 1998 bahwa bangsa Indonesia tangguh dan bisa pulih; serta pertumbuhan ekonomi dan pasar masih menunjukkan angka memadai yang bisa menjadi modal di tahun 2009.

“Kondisi bisnis consumer goods masih bagus. Secara kuantitas major Fast Moving Consumer Goods (FMCG) naik 8-15%. Dari segi nilai pun bisa tumbuh 16-25% berdasarkan kenaikan Retal Buying Price (RBP) sebesar 8-10%,” ungkapnya.

Selain itu, dari sisi periklanan, ada peningkatan billing di atas 18%—itu pun di luar iklan politik. Faktor ekspansi hipermarket, supermarket, dan minimarket juga turut memberi dampak positif. Begitu juga dengan pasar tradisional yang mengarah pada rencana konkret meremajakan dan merenovasi konsepnya menjadi bersih, rapi, dan apik.

“Namun, tetap saja ada ‘faktor buruk’ yang ikut memengaruhi. Ini masih terkait dengan krisis global. Yakni, adanya dampak sub prime krisis ke Indonesia sehingga rupiah dan IHSG melemah,” imbuh Yadi. Faktor lainnya adalah likuiditas pasar menjadi kering dan terjadi PHK di beberapa sektor riil yang padat karya, sehingga daya beli konsumen pun merosot.

Oleh karena itu, persaingan antar-perusahaan dinilai akan lebih ketat dan berat. Ini ditunjukkan dengan sedikitnya peluang bagi perusahaan untuk menaikkan harga produknya. Kalaupun dinaikkan, paling hanya sekitar 6-10% dari harga semula. Tentunya, permintaan produk mengalami penurunan kuantitas. Jika beruntung, kenaikan harga tidak terlihat signifikan, hanya single digit. “Bila produsen berani menaikkan harga lebih dari 10%, hal itu akan berpotensi tinggi menyebabkan erosi pangsa pasar,” tegasnya.

Untuk kondisi 2009, Yadi menjelaskan, akan banyak dipengaruhi tiga faktor besar. Pertama, nilai kurs rupiah terhadap dolar. Selama rupiah berada di atas Rp 10.000, maka lokomotif industri riil sulit bertumbuh cepat. Kedua, suku bunga (SBI) dan kondisi likuiditas perbankan di Indonesia. Jika SBI bertengger di atas 8%, bunga pinjaman akan tinggi. Akibatnya akan menekan gairah investor untuk berinvestasi.

“Ketiga, adanya pemilu April-September 2009 yang akan membuat mayoritas pelaku ekonomi wait and see,” imbuhnya. Momen pemilu, bisa menjadi berkah bagi sebagian pelaku bisnis, khususnya untuk produk food & beverage, percetakan dan merchandising, outdoor ad, garmen, bengkel motor maupun mobil, serta saluran pasar tradisional dan arus bawah.

Kejelian produsen dalam menangkap konsumen peka harga pun harus diperhatikan. Harga yang terus membubung drastis harus diimbangi dengan pengurangan keuntungan. Selain refocus ke konsumen peka nilai, refocus distribusi bisa juga dilakukan. Potensi pasar Pulau Jawa dan kota-kota besar yang tersebar di luar Jawa mampu menyedot 90% daya beli untuk FMCG.

Oleh karena itu, dalam mengantisipasi tantangan 2009, produsen harus merencanakan program-program khusus. Semisal, melakukan efektivitas distribusi dengan memadatkan spreading namun merapatkan coverage dan memperdalam penetrasi, antara lain di institusi dan pasar modern. Strategi distribusi akan diarahkan pada optimalisasi peningkatan kantong pasar dan koridor pasar.

Antisipasi lainnya, menyusun perencanaan integrated marketing communications (IMC) yang low budget dan high impact yang berorientasi pada perang nilai, bukan perang harga. “Yang utama adalah mengarahkan ke segmen elit sehingga diperlukan repositioning, upselling, atau product reconfiguration upgrade,” sarannya.

Perpindahan positioning, khususnya segmen yang dibidik bisa menjadi langkah antisipasi dalam menghadapi persaingan. Strata ekonomi konsumen jelas berkaitan langsung dengan daya beli. Konsumen elit yang memiliki penghasilan di atas 10 juta rupiah tidak akan terpengaruh krisis. Berbeda dengan segmen menengah-bawah, umumnya mereka lebih selektif dalam pembelian produk.

“Konsumen menengah-atas sedikit terpengaruh, bisa turun 15-20%. Segmen menengah akan mengalami penurunan 20% dan untuk impulsive purchases turun 40-67%. Begitu pula bagi kalangan menengah-bawah, daya beli turun 20-33%, dan impulsive purchases 67-80%,” jelas Yadi.

Dari segi pemasaran tahun 2009, menurutnya, peluncuran brand baru akan dihindari oleh perusahaan. Dalam membidik konsumen, strategi diarahkan menjadi IMC New Wave dan meninggalkan IMC Classic. Begitu juga dengan iklan di media massa yang mahal akan dialihkan, bahkan ditinggalkan. “Akuisisi dan merger terhadap local brand yang kuat di 3-5 provinsi akan gencar dilakukan oleh national brand; strategi bundling dan pack downsizing pun gencar dijalankan di 2009,” terangnya.

Bicara soal tren yang menonjol di FMCG, Yadi menyebut green product atau produk “back to nature”, produk berkomponen lokal, produk khusus usia 12-25 tahun, serta produk yang ditujukan untuk metroseksual dan wanita kosmopolitan. “Produknya bisa berupa minuman teh hijau atau rasa buah ‘new age’ seperti rosella, raspberry, blueberry maupun blackcurrent. Kemasannya menggunakan teknologi penyulingan modern dan tidak mengandung konten mineral berlebihan,” tutupnya.

Fisamawati
MARKETING Edisi Desember 2008

[+/-] Selengkapnya...

 
◄Design by Pocket